...SELAMAT DATANG DI GUNJHIE`LAND... Saran Dan Kritik Membangun Kami Tunggu ___ e-mail : gunjhie_land@yahoo.com ___ Phone number on +6285255869400

Selasa, 05 April 2011

Video Clip Pakacaping

"Pakacaping" Cipt : Abidin Syam/A. Lewa Dibawakan Oleh : Iwan Tompo


"Pakacaping" Cipt : Abidin Syam/A. Lewa Dibawakan Oleh : Metty Baan

Wala Suji

Simbol Kesempurnaan Seseorang

Bagi Masyarakat Bugis-Makassar, Wala Suji, dipakai sebagai acuan untuk mengukur tingkat kesempurnaan yang dimiliki seseorang. Kesempurnaan yang dimaksud itu adalah keberanian, kebangsawanan, kekayaan, dan ketampanan atau kecantikan.


Jika Anda pernah mengunjungi acara perkawinan suku Bugis-Makassar, tentu Anda akan melihat suatu baruga (gerbang) yang dikenal dengan nama Wala Suji di depan pintu rumah mempelai. Bentuk Wala Suji seperti gapura dan menyerupai bagian depan rumah panggung suku Bugis-Makassar. Atapnya berbentuk segitiga dan disangga oleh rangkaian anyaman bambu. Sebagai penghias, tak lupa diberi janur kuning.
Wala Suji atau baruga bermotif segi empat belah ketupat tersebut sudah tidak asing lagi dalam khasanah peradaban masyarakat Bugis-Makassar.Hal ini terlihat pada setiap pembuatan baruga, serta pallawa atau pagar pada acara perkawinan atau pesta adat. Bentuk segi empat pada Wala Suji ini, berakar pada kebudayaan masyarakat Bugis-Makassar yang memandang alam raya sebagai sulapa eppa’ wala suji (segi empat belah ketupat). Sulapa eppa (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta, api-air-angin-tanah.
Wala suji berasal dari kata wala, yang berarti pemisah/pagar/penjaga dan suji yang berharfiah putri. Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Menurut almarhum Prof DR Mattulada, budayawan Sulawesi Selatan yang juga guru besar Universitas Hasanuddin Makassar, konsep tersebut ditempatkan secara horizontal dengan dunia tengah. Masyarakat Bugis-Makassar memandang dunia sebagai sebuah kesempurnaan. Kesempurnaan yang dimaksud meliputi empat persegi penjuru mata angin, yaitu timur, barat, utara, dan selatan.
Secara makro, alam semesta adalah satu kesatuan yang tertuang dalam sebuah simbol aksara Bugis-Makassar, yaitu ‘sa’ (#) yang berarti seua, artinya tunggal atau esa. Begitu pula secara mikro, manusia adalah sebuah kesatuan yang diwujudkan dalam sulapa eppa. Berawal dari mulut manusia segala sesuatu dinyatakan, bunyi ke kata, kata ke perbuatan, dan perbuatan mewujudkan jatidiri manusia.
Dengan demikian, Wala Suji dalam dunia ini, dipakai sebagai acuan untuk mengukur tingkat kesempurnaan yang dimiliki seseorang. Kesempurnaan yang dimaksud itu adalah kabara-niang (keberanian), akkarungeng (kebangsawanan), asugireng (kekayaan), dan akkessi-ngeng (ketampanan/kecantikan).

Pergeseran Fungsi
Dewasa ini, Wala Suji yang terbuat dari anyaman bambu, bukan suatu hal yang langka lagi. Ini karena Wala Suji bisa dilihat walaupun tidak ada acara perkawinan atau pesta adat. Jika fungsi dan kegunaan Wala Suji ini, pada awalnya sebagai pallawa atau pagar dan baruga atau pintu gerbang, kini mulai mengalami pergeseran fungsi akibat aspek modernisasi yang menimbulkan pergolakan pada nilai kebudayaan daerah. Sehingga wala suji mengalami sedikit pergeseran fungsi.
Hal tersebut dapat dilihat pada penempatan hasil karya ini. Sejatinya, Wala Suji hanya dipakai pada acara pernikahan atau pesta adat bagi warga Sulawesi Selatan yang masih memegang teguh adat setempat. Namun kini, Wala Suji telah menjadi gerbang permanen bagi rumah-rumah keturunan bangsawan lokal. Bahkan pada beberapa keluarga yang pernah melakukan pesta perkawinan, membiarkan Wala Suji itu tetap berdiri kukuh dalam waktu lama. Padahal semestinya, maksimal digunakan hingga 40 hari pasca-perkawinan atau pesta adat.
Keengganan merubuhkan Wala Suji pasca-upacara perkawinan itu, selain merasa sayang menghancurkan bangunan mini itu karena harga pembuatannya yang mencapai ratusan ribu rupiah. Wala Suji dapat pula difungsikan sebagai tempat bernaung dari panasnya matahari atau derasnya hujan pada musim penghujan.
Sebagian orang yang memiliki Wala Suji ini, justru membuat bangku panjang dari bambu atau kayu di sisi kiri dan kanan bagian bawah Wala Suji, sebagai tempat bersantai. Bahkan sejumlah restoran atau hotel-hotel berbintang di Makassar, juga memasang Wala Suji di lokasi prasmanan atau tempat sajian hidangan dengan alasan menambahkan estetika dekorasi ruangan, sekaligus memperkenalkan salah satu karya seni budaya masyarakat Sulawesi Selatan.

Dari berbagai sumber

Pakacaping

Musik instrumental tradisional Sulawesi Selatan yang diciptakan oleh seorang pelaut Bugis Makassar

Pakacaping adalah salah satu musik instrument tradisional daerah Sulawesi Selatan yang dikenal dalam etnis Makassar, Bugis, dan Mandar. Alat musik ini mirip dengan hasapi (Tapanuli), atau kecapi untuk etnis Sunda dan Jawa.Secara etimologis, Pakacaping diartikan sebagai pemain kecapi yang berasal dari dua suku kata yaitu pa berarti ‘pemain’ dan kata Kacaping berarti ‘instrumen kecapi’. Alat musik ini terbuat dari kayu berdawai dua dan berbentuk menyerupai perahu.
Menurut sejarahnya kecapi diciptakan oleh seorang pelaut Bugis Makassar yang telah berhari-hari berlayar di laut lepas meninggalkan gadis pujaan hatinya di darat, tiba-tiba badai datang dan tali perahu yang terikat dilayar berbunyi diterpa angin kencang. Bunyi yang amat indah menimbulkan kerinduan mendalam pada kekasih yang ditinggal. Begitu badai berlalu, sang pelaut mengambil sebagian tali layarnya lalu diikatkan pada dayung perahu, kemudian dipetik dengan iringan lagu. Setelah kembali ke darat, dibuatlah sebuah alat bunyi yang berbentuk perahu dua tali yang dipetik dan dibuatkan syair-syair (Kelong) berpantun dengan ketentuan 8.8.5.8.
Awalnya Pakacaping merupakan permainan untuk menghibur diri sendiri di waktu senggang. Pemain kecapi menikmati kobbi’-kobbi’na (petikan-petikannya sendiri) tanpa ada kebutuhan pendengar. Namun dalam perkembangannya Pakacaping menjadi seni pertunjukan dalam berbagi konteks adat istiadat assua’-sara’ (keramaian).
Bagi masyarakat Gowa Sulawesi-Selatan misalnya, Pakacaping adalah bagian yang tak terpisahkan dari tradisi adat a'gau-gau. Hadirnya seni pertunjukan dalam setiap upacara adat merupakan bagian dari semangat untuk menjamu dan menghormati setiap orang yang datang menghadiri pesta upacara yang dilaksanakan. sampai saat ini masih dapat disaksikan lewat acara-acara adat-istiadat, seperti pesta adat upacara perkawinan, khitanan, sunatan, hari-hari besar kerajaan, hari-hari besar kenegaraan,dalam rangka festival budaya, dan bahkan dalam acara pertunjukan yang dikelola khusus secara konvensional.
Dalam memainkan kacaping, seorang pemain biasanya duduk bersila, memangku alat (kecapi) menghadap penonton dengan menggunakan kostum berupa ikat kepala (patonro), baju balla dada, celana baroci dan sarung yang diikatkan dipinggang, memetik kecapi, lagu mana yang akan di mainkan. Dari teknik memetik, teknik improvisasi dan teknik penampilan apalagi vocal yang indah, akan memancing penonton dan pendengar untuk turut bereaksi atau membalas nyanyian dari Pakacaping. Biasanya, makin larut malam, semakin seru karena syair-syair yang disampaikan semakin hangat.

Kecapi Kuno
Kecapi kuno ini ditemukan oleh nenek moyang bangsa Tionghoa pada zaman Dinasti Zhou lebih dari 3 ribu tahun yang lalu. Pada zaman dahulu disebut sebagai “Qin” atau “Yao Qin” dan merupakan instrumen putar kuno Tiongkok. Orang zaman dahulu sebelum main kecapi harus mandi dan mengganti baju, kemudian baru main kecapi dengan menaruh kecapi di atas bahu atau meja. Tangan kiri putar senar, tangan kanan tekan senar, dan tuntutan ketepatan bunyi musik sangat ketat.

Hasapi
Hasapi, atau gitar Batak memiliki kemiripan dengan Kacaping Bugis Makassar, memiliki dua dawai. Hasapi Batak memiliki keunikan tersendiri, dalam tangga nada, jelas, ada pengaruh Barat. Misalnya, penyetelan dua dawainya itu. Tapi dalam struktur terutama dalam pengulangan melodi dan ritme, pengaruh Barat itu hilang. Hasapi di batak dibedakan atas dua yaitu hasapi ende dan hasapi doal (alat petik dua senar)

Beberapa Versi Video Clip "Pakacaping" [Klik Disini]

Aru2 (Versi Pangkep)

Karaengku !
Kipamopporammak jaidudu karaeng !
ri dallekang lakbirina, ri empoang matinggina ;
ri sakri karatuanna,
Satuli-tuli kanangku karaeng ;
panngainna laherekku, pappattojenna batengku ;
Beranjak kunipatekbak, pangkuluk kunisoeang ;

Ikatte anging karaeng, na ikambe lekok kayu ;
Ikatte jeknek karaeng, na ikambe batang mammanyuk ;
Ikatte jarung karaeng, na ikambe bannang panjaik.

Irikko anging, na marunang lekok kayu ;
Solongkok jeknek, namammanyuk batang kayu ;
Tekleko jarung, namminawang bannang panjaik;

Makkanamaki mae, na ikambe manggaukang.
Mannyakbuk mamakik mae, na ikamba mappajarik ;
punna sallang takammaya, aruku ri dallekanta ;
pangka jerakku, tinraki bate onjokku ;
pinra arengku, piassalak jari-jariku.
Pauangi ri anak ribokoa, pasangi ri anak tanjari ;
tumakkanaya, na taenna napparukpa ;

Sikammaji anne aruku ri dallekanta Karaeng ;
dasi na dasi nanitarima paknganroku ;
Karena Allah !
Amin.

Sumber :
Sejarah Kekaraengan di Pangkep. Penerbit Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Pemkab Pangkep bekerjasama dengan Pustaka Refleksi : Makassar. ISBN. 979967321-6. Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.

Aru (Versi Pangkep)

Kicini – cini sai karaeng
Bannang Keboka ri Siang
Tak sampea ri Sengkaya
Maklambaka ri Pangkajene

Ada’ Kuerang kontu tojeng kupanna’ galli
Iya – iyannamo sallang karaeng
Tampa tetea ri ada’
Tampa empoa ri kontu tojeng

Kupannepokangi sallang karaeng
Panngulu ri tangnga baruga
Inai naimo sallang karaeng
Tappa empoa ri kontu toje
Tampa tetea ri ada’

Kupannepokangi sallang karaeng
Passorang ri tangnga parang
Niappa sallang waktu
Bosi tasi nau – nau
Kilatasi kila – kila
Nanicini jarina Itui Daeng Manassa

Dasi na dasi nanakarannuang Bataraya
Nalanri pangngamaseanna
Amin.

Catatan Penulis :
Aru', Angngaru' atau Mangngaru ialah ikrar kesetiaan yang diucapkan dihadapan seorang karaeng, arung atau raja. Aru bisa juga dipersembahkan dihadapan pemimpin tamu atau raja/karaeng yang datang sebagai raja atau pemimpin sahabat atau pemimpin/raja yang lebih tinggi kedudukannya. Seorang yang angngaru’ haruslah berpakaian adat, mengucapkannya harus lantang, tegas dan sambil menghunus keris.

Sumber :
Sejarah Kekaraengan di Pangkep. Penerbit Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Pemkab Pangkep bekerjasama dengan Pustaka Refleksi : Makassar. ISBN. 979967321-6. Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.

Pakkio' Bunting (Versi Pangkep)

Ia dende – ia dende , nia tojemminjo mae ;
bunting salloa kutayang , salloa kuminasai ;
bura’ne bura’nena buranea ;
nampako ri ujung borikku, ri cappa pa’rasanganku ;
naku ruppaiko cinik, kutimbarangkiko pangngai.

Nampako kuasseng niak, na kuitungko labattu ;
kuurangi memang, berasa ri mangkok kebok ;
kummata memang, rappo bauk ri pallakku ;
kunnanro memang, kelomping ri talang bulaeng ;
ku itungko intang, kubelo – belo jamarrok.

Intang macora, nasingarri dallekannu ;
bulaeng tino’ angsuloi pacciniknu ;
lakukapeangko anne, sumangaknu mabellaya ;
lakukiokangko pole, tubunu ‘lampa salaya ;
Kutannangkonne, tope talakkak ri ayak.

Lakkak tope tamalakakko ikau ;
sangkontu sanrapammamako bulang sampuloa ngappak ;
nasusung pale, natinriang wari-wari ;
wari-wari kapappasang, pale mannuntunga bangngi ;
nisaelenu kau tamallakjunu nicinik makmole-mole.

Kukiok daengjakonjo, kukanro anak karaeng ;
nutuli manaikmo mae ri balakna matoannu, ritukakna iparaknu,
matoang tuna, iparak kamase-mase ;
mangongjotongmakonne tukak tallu angronna, patampulo baringanna ;
manjappatongko pole, coccorang nitakbu-takbu.
Nutulik manai, mannyorang pakkekbu nigiring-giring ;

Mangongjotongko daserek nijaling kawak, nialanro bassikalling ;
mattetetongko pallangga ri batang rappo ;
mannosok tongko padongko nitau-tau ;
nutilimo kalawuk rawanganna timbaonu, ammempo ri
benteng polonnu.

Aklaparak tapperek bodong, anjokjok kairi kanang ;
mansuro-suro rapannu, mampattuju sangkammannu ;
naremba-rembako pole, anak rara patampulo ;
nisarimanangko pole, lonrong beru makbakak ;
benteng polong kansako, kanako benteng pakkaik-kaik topena
pasikaiki bajunna.

Naik manaung tunibarang baranginnu, assuluk antama ata makballak-ballaknu ;
numakjarang, numattedong, numakjangang rassi lerang ;
nakutumbangangi pole palampang ase berunu ;
nakatepokangi padongkok ase toanu ;
tamanraikko ri ambong nukoasa.

Takalaukko ri Jawa, nakulumannyang, tamakbotorokko numammeta ;
assare-sarengko sallang, ri matoang kasiasi ;
appiturummako pole, ri iparak kamase-mase ;
naik tuannu, saklak dasere dalleknu ;
kuminasaijakonjo sunggu, kutinjakiko matekne.

Nusunggu tojeng, numaktene tojeng todong ;
lakbu bannang ri jawa, malakbuang umurunu ;
luarak tamparang, luarangang nawa-nawanu ;
tinggi Bawakaraeng, matinggiampa tuannu ;
lekbak gentung tinbaonu, lekbak tantang pakkallikku.

Timbao nikida-kida pakallil niurak tallu ;
lekbak basami barkraknu, lekbak gusuk langiriknu ;
tattanngi pole, capparu pakminyakannu ;
nutulimo ‘antama ri bilik kamua liku, kamua kalangang rapak ;
mannosok badang, mannimbak bangkeng paciko.

Nukana-kanami sallang saraka ri pamminangang ;
tappauk-paukmi pole bunga-bunga ri gatingroannu ;
nusipoke-poke genre, nusitakbak rappo toa ;
nusipattoa-toai , nusipakloa-loai, nusipacammo-cammoi
sitanro takkang, sibuccuk pakdengka-dengka.

Lino-linopi anging, pakkeke mappasisaklak ;
numammanak-manak sarre, numakborong unti jawa
pinruang tuju, pintallung tassalapangi ;
manaikngasemmi mae angrong guru ningainu, gallarang nipanggalikinnu,
kapala nipaemponu.

Battungasemmi pole, bija pammanakannu, bella-bella ‘mbani-bani,
cakdi-cakdi, lompo-lompo, anak-anak tau –toa ;
nipanaikmako ri pangka-pangka bulaeng ;
niupaempomako ri tapperek paramadani ;
bajik nangai Nabbi, napaujia Allah Ta’ala.

Sipokok bukne tantanna jeknek matannu ;
sipokok camba pammattikna iloroknu ;
kupattannangangmakonne, anggorok ri gantironu ;
kupaklumangangko pole, lemo tanning ro dolangang ;
nakacinnai somba, napammattikang irolok bate salapang.

Bunting nilekkako paleng tunipalele bellokang ;
Nierang ri bori maraeng, pakrasangang nampa nuonjok, bori nampa nulakbaki ;
nukamma todong jonga, mattoa ri sampak manngayangang tunumalo.
- Nakana kelonna Daeng bunting Bura’nea :
nampa a’lampa ri balla’ku, naku joli pakkebukku, naku gulung tapperekku
naku a’nia ri lalang pa’mai, barang nasarea sikalabine, dalle Karaeng Allah Ta’ala
ku lingka lammatang puli, ri borong-borong pa’daserang, dalle nipajului battu ri Allah Ta’ala.
- Nakana kelonna Daeng Bunting Bainea :
takunjungak sallo lolo, karunrung balu baine, tammamoneak, tope taerokna tau toaku.
- Nakana pole kelonna daeng bunting bura’nea :
kaddek kucinik Batara, kudupai allo-allo najokjokangku lebanga ri pakmaikku.
- Nakana kelonna Daeng butning bainea :
kaddek naniak erokku, teak sajuk ri sakbea, teak salasa ri baju mocong buloa.
- Nakana pole Daeng buting bura’nea :
nampakko maccula lebong, nakurompong-rompong memang, lompoko naik, kutammbai pakrompongku.
- Nakana kelonna Daeng bunting bainea :
Apa kicinik ri nakke, nakke leleng nake kodi, nakke karokbak, nakke caddi simbolengku
- Nakana pole Daeng bunting bura’nea :
mannu lekleng mannu kodi, mannu caddi simbolennu, tittik matangku, kalakbusang pangngaikku.
- Nakana toseng kelonna Daeng bunting bainea :
Sikatutuikik tope, manna ni sassa ma’ mole-mole. tenamontu parekanna maloloa
manna nupake pangngasengang “lolo pulanaya”
+ Naik ngaseng maki mae.

Sumber :
Sejarah dan Kebudayaan Pangkep. Penerbit Kantor Informasi dan Komunikasi (Infokom) Pemkab Pangkep. Copyright (c) 2007. Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.

Pakkio' Bunting (Versi Gowa)

Iya dende iya dende
nia tojemmi deng bunting
bunting salloa nitayang
sallowa niminasai
kukanroa ri nabbiya kupalaka ri batarayya.

Nampaki riujung boritta dg bunting ri cappa parallakkengku
naku kella kellaki guru kukellainta sunggu ri kaisilangnganga.

Naruppaiki jama’ dg bunting nabuntuliki’ agama
naku erang maki antama’ ri dallekanna tuka ballakku
nianrongia kayu bang
nicoccorangia kama’
nibaringanga doangang patampulo.

Naku panai’ tommaki poeng dg bunting
ri paladang atehaya
ni rinring pangngompo’
ni dego dego rokko’
nijajariya samiallah.

Naku paonjo’ tommaki pole dg bunting
dasere’ nijaling sujju’
nialanroi empo tahiya’
naku sungkeang tommaki pole dg bunting
pakkebbu’ nibarisallang.

Naki tulusu’mo nai mammempo dg bunting
nammempo tommo pole dg bunting
anak guru mangngajita
na’lonjo’ sulengkamo pole dg bunting
anak guru sarapatta.

Sallo salloki ammempo dg bunting
nia’ tommi daeng ngimang
niwakkelanga appa’nikka
ana’ ana’na tumakkayya
cucunna tu madinaya
tau lannyinga ri junnu’ tangkasaka ri satinja
tau assayya gau’na nitarimaya pappala’na.

Jari nakanamo sabbina kalabini malabbiritta dg bunting
lani nikkamaki’ anne dg bunting
ri dallekanna adaka
tumannappukia ada’ gallarrang tumabbicaranta.
Jari lebbakki’ ninikka dg bunting
nierang maki’ antama’
ampabattui nikkata
ri bili’ kaisilangnganga
ri kasoro’ isilang
ri pa’lungang sunduseng
ri tappere’ waistabaraking
ri timbao mata bulang pakkalli’ mata bintoeng.

Tappa kicini’mamo ilalang dg bunting
baine anrong anatta
kalabini malabbiritta
sangkontu sanrapang mami iya dg bunting
anak bidadariya naroko’ pakeang nalimpo passarimanang.

Appalampa kelommami bunting baineya nakana kelonna..
oh daeng sungguma’ anne ri itungku
te’nemi pa’maikku kugappa tommi lebanga ri minasangku..
Nakana pole kelonna bainea…
oh daeng sikatutuiki’ tope kisipakainga’ mole mole
tenamo anne parekanna maloloa..

Nakana tossing kelonna bunting bura’nea..
oh andi’ bulaennako atingku
intannako pa’maikku
belo belonako nyawaku
parammatanako matangku
manna batara andi’ malla’ ngaseng mallaggasi.

Nakana pole bunting bura’nea..
bosi timurung dinging
palate la’lakanna sunniaya gau’ ri Ali pangngssengang ri Fatimah.
Naki kanang tommo pole dg bunting
nikka bateng ma’nassana katojenganta nikanaya isilam.

Kitinro sampappa’mamo sallang dg bunting
naki sorong lima gadutta ri kananna
ti’ring dada naki buang ribarambang pa’nakkukanta sossoranta ri nabbiya.
Antemami kamma dg bunting
katurungang nampa nisanda’ labangang
nampa niolo ka tujui nabbi kipare’ oloang..

Natamparang pepe’mamo sallang dg bunting
na biseang taibani sombala’ kapasa’mamo sallang dg bunting
nasannampi bombing nataena kaeke’na linopi anging nataena galluru’na.
Na kacinikang tommo sallang dg bunting
kassi’ kebo’na madinah namammumba tommo sallang dg bunting takamangngalialia.
Kimabborong borong sarre dg bunting
ki ma’mana’ unti jawa
sembang katupa’
roliki lappa’ lappatta pinruang tujuh pintallung tassalapangngi patampulosse’re.
Nipa’lamungang tommaki’ sallang dg bunting
unti te’ne ri dallekang ballatta
kimanai’ kimanaung namate’ne pa’maitta ikatte sipammanakang.
Bunting nai’maki’ mae ri balla’na matoanta
matoang tuna ipara’ kamase mase….
SEKIAN

Gadis-Gadis Sulawesi (Tulolonna Sulawesi)

Lyric Lagu "Tulolonna Sulawesi"

Malakbirik memang tongi
tulolonna Sulawesi
makbaju bodo . . . makbaju bodo
mangnginking lipak sakbena
Baju bodok kasak eja
lipak sakbe curak lakbak
bunga niguba . . . bunga niguba
takdongkok risimbolenna
angkak - angkak bangkenna
soe - soena limanna
kingking lipakna . . . kingking lipakna
sakge kanangi nicinik
malakbirik memang tongi
tulolonna Sulawesi
mabajik ampe . . . mabajik ampe
alusuk ri pangngadakkang

Video Clip "Tulolonna Sulawesi" Versi Maharani Copyright 2010

Falsafah "TALLU CAPPA" (3 Ujung)

Ada Sebuah Kebiasaan yang dipegang oleh masyarakat Bugis-Makassar (org Sul-Sel) yang mungkin sudah menjadi adat kebiasaan para orang tua ketika melepas anaknya pergi merantau: (kyk saya donk hehehehehe)

dan orang tua saya pun mengatakan HAL ini kepada saya………..

Beliau Berkata:
Nak kalo dikampungnya ko orang kamu HARUS JAGA 3 Hal: (wah dlm hati Ceramah lagi….)
1. Jaga Bicaramu
2. Jaga BUTO nu
3. Jaga Dirimu (sebenarnya ada BADIKnya bapak tapi jangan meko bawa ki yg ada mo kau pake)
Pokoknya Ini semua 3 UJUNG kau Harus Jaga Baik-baik…kalo tidak bisa-bisa hancur ko di tempatmu nanti
saya menjawab hanya dengan tersenyum :)

Dalam Hati saya berfikir “Baru kali ini BIG BOSS bicara PORNOGRAFI sama Saya….
Apakah itu???? yang ke 2. jaga BUTO nu yg artinya KEMALUAN/Alat kelamin mu.

Saya awalnya mengira ini hanya nasehat biasa ternyata setelah saya baca di sebuah Artikel ini merupakan FALSAFAH 3 Ujung (Tallu Cappa) Bugis-Makassar, Yaitu:
1. Ujung LIDAH (Cappa Lila)
2. Ujung Kemaluan (Cappa Buto)
3. Ujung Badik (Cappa Badi’)

Kedengarannya memang sangat FULGAR dan SADIS tapi bila diteliti (kyk prof. Aja) ini sangat bagus….

Dahulu orang BUGIS-MAKASSAR dalam menyelesaikan suatu perkara atau masalah menggunakan tiga HAL ini:
1. Ujung Lidah : kita dalam menyelesaikan Masalah Harus dengan jalan Diplomasi atau pembicaraan terlebih dahulu
2. Ujung Kemaluan : Bila cara 1 gagal maka bisa dilakukan dengan mengadakan perkawinan antara kedua pihak yang bertikai agar diharapkan dengan adanya perkawinan ini bisa menjalin kekerabatan yang lebih.
3. Ujung Badik : dan bila kedua cara di atas gagal maka cara terakhir adalah dengan peperangan untuk mempertahankan HARGA DIRI dan menunjukkan KEBERANIAN.

Dan bukan hanya dalam penyelesaian PERKARA atau masalah saja di butuhkan Falsafah ini, tapi dalam pembauran atau sosialisasi dengan masyarakat juga demikian…
1. Ujung lidah: yang bisa diartikan sebagai kecerdasan..cerdas disini bukan Cerdas karna mendapatkan gelar S.3….S.4…S.5…Tapi kecerdasan dalam segala HAL…membedakan baik-buruk contohnya…
2. Ujung Kemaluan: yang bisa di artikan NEPOTISME (kyk KKN aja hahahahahaha) yah kalo bisa cari jodoh bangsawanlah hahahahahahahaha :D tapi jodoh sapa yang tau ya???? kt cm bisa usaha aja…..
3. Ujung Badik: Dalam pergaulan pasti ada yang namanya Cek-Cok permusuhan nah disini fungsi Ujung yang terakhir yaitu HARGA DIRI. Dalam adat Bugi-Makassar HARGA DIRI adalah HARGA MATI yang Harus dibayar meskipun dengan NYAWA…Bial tidak Salah hajar bleh hahahahahahahahaha :D

peneliti La Galigo, Prof Dr Nurhayati juga berpendapat : Menurutnya, orang Bugis-Makassar di mana-mana lebih menonjolkan sisi keberanian yang membuatnya terkenal dan dapat diterima masyarakat setempat. Dikisahkan, tiga pangeran Kerajaan Gowa, Daeng Mangalle, Daeng Ruru dan Daeng Tulolo diutus Kerajaan Gowa belajar di Kerajaan Siam, Thailand.

Sayangnya, keberadaan mereka di Siam tidak tepat. Pasalnya, perang tengah berkecamuk antara tentara Prancis dengan prajurit Siam. Sejarah mencatat, salah satu pangeran, Daeng Mangalle ikut angkat senjata dalam perang itu.

Namun dalam perang ini, Daeng Mangalle gugur. Mengenai gugurnya Daeng Mangalle dan prajurit Bugis-Makassar, seorang pendeta Prancis membuat catatan yang menurutnya hampir-hampir tidak masuk di akal.

Pendeta itu menulis, seumur hidupnya, dia baru pertama kali menyaksikan keberanian manusia yang dikenal sebagai prajurit Bugis-Makassar. Saat itu, seorang prajurit Bugis-Makassar yang telah membunuh tujuh tentara Prancis, akhirnya berhasil dilumpuhkan dengan tembakan dan tikaman bayonet yang bertubi-tubi.

Dalam keadaan sekarat, seorang tentara Prancis menendang-nendang kepala prajurit itu. Tiba-tiba saja, menurut catatan pendeta itu, prajurit Bugis-Makassar ini bangkit lalu membunuh tentara yang menendang-nendang kepalanya itu, kemudian dia pun mengembuskan nafasnya yang terakhir.

Pendeta ini mengatakan, tak ada alasan lain yang membuat prajurit itu mendapatkan kembali kekuatannya, selain karena mempertahankan harga diri dan keberanian, kata Nurhayati.
Nasib yang lebih mujur dialami dua saudara Daeng Mangalle, yaitu Daeng Ruru dan Daeng Tulolo.

Mereka berhasil meloloskan diri dari perang dan menuju Kerajaan Prancis, pada masa kekuasaan Louis XIV dan Louis XV. Malah, keduanya mendapat kehormatan dari Raja Louis XIV sebagai anak angkat.

Dari berbagai Sumber

Raja-raja Kesultanan Gowa

1. Tumanurunga (+ 1300)
2. Tumassalangga Baraya
3. Puang Loe Lembang
4. I Tuniatabanri
5. Karampang ri Gowa
6. Tunatangka Lopi (+ 1400)
7. Batara Gowa Tuminanga ri Paralakkenna
8. Pakere Tau Tunijallo ri Passukki
9. Daeng Matanre Karaeng Tumapa’risi’ Kallonna (awal abad ke-16)
10. I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiyung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565)
11. I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatte
12. I Manggorai Daeng Mameta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (1565-1590).
13. I Tepukaraeng Daeng Parabbung Tuni Pasulu (1593).
14. I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminanga ri Gaukanna
Berkuasa mulai tahun 1593 – wafat tanggal 15 Juni 1639. Merupakan penguasa Gowa pertama yang memeluk agama Islam.[1]
15. I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Malikussaid Tuminanga ri Papang Batuna
Lahir 11 Desember 1605, berkuasa mulai tahun 1639 hingga wafatnya 6 November 1653
16. I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla’pangkana
Lahir tanggal 12 Juni 1631, berkuasa mulai tahun 1653 sampai 1669, dan wafat pada 12 Juni 1670
17. I Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah Tuminanga ri Allu’
Lahir 31 Maret 1656, berkuasa mulai tahun 1669 hingga 1674, dan wafat 7 Mei 1681.
1. I Mallawakkang Daeng Mattinri Karaeng Kanjilo Tuminanga ri Passiringanna
18. Sultan Mohammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenanga ri Jakattara
Lahir 29 November 1654, berkuasa mulai 1674 sampai 1677, dan wafat 15 Agustus 1681
19. I Mappadulu Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tuminanga ri Lakiyung. (1677-1709)
20. La Pareppa Tosappe Wali Sultan Ismail Tuminanga ri Somba Opu (1709-1711)
21. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi
22. I Manrabbia Sultan Najamuddin
23. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi. (Menjabat untuk kedua kalinya pada tahun 1735)
24. I Mallawagau Sultan Abdul Chair (1735-1742)
25. I Mappibabasa Sultan Abdul Kudus (1742-1753)
26. Amas Madina Batara Gowa (diasingkan oleh Belanda ke Sri Lanka) (1747-1795)
27. I Mallisujawa Daeng Riboko Arungmampu Tuminanga ri Tompobalang (1767-1769)
28. I Temmassongeng Karaeng Katanka Sultan Zainuddin Tuminanga ri Mattanging (1770-1778)
29. I Manawari Karaeng Bontolangkasa (1778-1810)
30. I Mappatunru / I Mangijarang Karaeng Lembang Parang Tuminang ri Katangka (1816-1825)
31. La Oddanriu Karaeng Katangka Tuminanga ri Suangga (1825-1826)
32. I Kumala Karaeng Lembang Parang Sultan Abdul Kadir Moh Aidid Tuminanga ri Kakuasanna (1826 – wafat 30 Januari 1893)
33. I Malingkaan Daeng Nyonri Karaeng Katangka Sultan Idris Tuminanga ri Kalabbiranna (1893- wafat 18 Mei 1895)
34. I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Husain Tuminang ri Bundu’na
Memerintah sejak tanggal 18 Mei 1895, dimahkotai di Makassar pada tanggal 5 Desember 1895. Ia melakukan perlawanan terhadap Hindia Belanda pada tanggal 19 Oktober 1905 dan diberhentikan dengan paksa oleh Hindia Belanda pada 13 April 1906. Ia meninggal akibat jatuh di Bundukma, dekat Enrekang pada tanggal 25 Desember 1906.
35. I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonto Nompo Sultan Muhammad Tahur Muhibuddin Tuminanga ri Sungguminasa (1936-1946)
36. Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin (1956-1960) merupakan Raja Gowa terakhir, meninggal di Jongaya pada tahun 1978.

sumber : wikipedia

Aru Tubarani Dari Mangasa

Apakah ARU itu? Berikut Sedikit Penjelasan yang saya dapatkan dari Tulisan H.M. Sirajuddin Bantang

Sebagaimana diketahui bahwa Gowa adalah pernah menjadi suatu kerajaan yang besar pada amannya, pernah menjadi suatu kerajaan yang berpengaruh di Nusantara, disegani oleh kawan dan lawan. Karena kekuasaan yang pernah dimiliki oleh kerajaan Gowa, sudah barang tentu mempunyai banyak laskar atau tubarani yang taat pada rajanya, yang selalu mengucapkan sumpah setia kepada rajanya (aru ), hingga saat ini sumpah tersebut masih sering diucapkan dihadapan para pemimpin yang datang berkunjung ke daerah Gowa. Suatu susunan sastra dalam bahasa Makassar, yang di isi dengan kalimat – kalimat sumpah setia yang penuh keberanian diucapkan oleh salah seorang tubarani, atau wakil dari salah seorang Gallarang dihadapan raja. Susunan kalimatnya ringkas namun dari kalimat itu terkandung kesetiaan masyarakat yang diwakili oleh tubaraninya.
Teknik memainkan Aru Sebagaimana biasanya apabila akan menyampaikan suatu sumpah atau ikrar dihadapan seorang raja, maka dipilihlah seorang dart wakil masyarakat atau tubarani untuk mengucapkan sumpah setia (aru). Orang yang terpilih umumnya mempunyai vocal yang lantang, wajah yang seram, berani menantang wajah sang raja. Yang terpilih ini juga merupakan suatu kehormatan berhadapan dengan sang raja dan pembesar lainnya (sekarang berhadapan para pejabat dan petinggi lainnya), dan mendapat tempat yang penting ditengah – tengah masyarakat.
Pada saat tampil dihadapan sang raja, pembawa aru sudah harus menampakkan wajah kesetiaan, wajah loyalitas dan wajah dedikasi yang tinggi. Badan harus tegap, sambil mencabut keris (badik) sang pembawa aru menyampaikan arunya dan mempermainkan kerisnya (badiknya) sesuai dengan apa yang diucapkan oleh sang pembawa aru.
Lokasi permainan aru
1. Upacara adat yang berkaitan kerajaan.
2. Menjemput tamu dari luar (khusus pejabat)
3. Akan berangkat perang
4. Pernyataan kesetiaan tubarani

adapun salah satu Contoh dari Syair-Syair AARU adalah

Aru tubarani dari Mangasa

Cini – cini mami sallang karaeng
Bulaeng – bulaengna mangasa
Jangang Tani pakkurua
Bukkuru tani kadoa

Iya-iyannamo sallang karaeng
Rewa anngang na inakke
Tampa tetea ri ada
Kupolong tallu pokeku attannga parang
Kupolong appaki selekku abbangkeng romang

Iya-iyanamo sallang karaeng
Rewa anngang na inakke
Iya-iyannamo sallang karaeng
Barani yanngan na make
Sekre lipak kuruwai warakkanna Parangtambung
Sekre lipak kuruwal timboranna Bulussari

Nani cini buraknena burakneya
Tanrinna tau lolowa
Dampenna anak raraya
Tena jail kawang tana katto
Benteng tannga tana ambi
Tena todong bili tang pantamai

Kamma tommama sallang karaeng
Layang – layang nionjong attannga parang
Narikbakkang anak ratite
Nalollong anak mariang
Nampa kukana sallang karaeng
Inakke minne farina buleng – bulengna Mangasa


Artinya :

Yang mulia
Kelak akan terlihat
Buleng-Bulengna Mangasa
Ayam jantan sipenantan
Perkutut membuat tak berkutik

Yang mulia
Barang siapa kelak
Lebih jantan dari kami
Yang tidak mengenal adat
Akan kupatahkan tombakku ditengah padang
Akan kupatahkan badikku di kaki bukit

Yang mulia
Barang siapa kelak
Lebih jantan dari kami
Selembar sarung kelak berdua
Berlaga didekat parang tambung
Bertarung dekat gunung sari
Kelak kelihatan siapa yang lebih jantan
Kelak kelihatan siapa yang lebih berani

Semua tiang akan dipanjat
Semua bilik akan dibongkar

Kami kelak seperti layang – layang
Melayang ditengah angkasa
Melayang dengan peluru meriam
Kami adalah buleng-bulengna Mangasa

Ini adalah Salah satu Syair-Syair ARU dari Kebudayaan Daerah Makassar yang sudah hampir Menghilang yang sebenarnya bisa di Jadikan kebanggaan Masyarakat Makasar itu sendiri atas Budaya daerahnya.

ARU (Angngaru)

Pengertian Dan Penjelasan
Aru atau angngaru menurut pendapat Yasin Limpo, dkk. (1995) merupakan semacam ikrar atau ungkapan sumpah setia yang sering disampaikan oleh orang-orang Gowa di masa silam, biasanya diucapkan oleh bawahan kepada atasannya, abdi kerajaan kepada rajanya, prajurit kepada komandannya, masyarakat kepada pemerintahnya, bahkan juga dapat diucapkan seorang raja (pemerintah) kepada rakyatnya, bahwa apa yang telah diungkapkan dalam aru itu akan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, baik itu untuk kepentingan pemerintah di masa damai maupun di masa perang.
Angngaru dalam persepsi HM. Sirajuddin Bantang (dalam hatta, 2010) merupakan suatu susunan sastra dalam bahasa Makassar, yang diisi dengan kalimat-kalimat sumpah setia yang penuh keberanian diucapkan oleh salah seorang tubarani atau wakil dari salah seorang Gallarrang di hadapan Raja.
Pada saat tampil di hadapan Sombayya ri Gowa (pemerintah), tubarani yang akan angngaru mengambil posisi berlutut dengan posisi badan tegap, tangan kanan memegang badik yang terhunus, dan wajah yang menatap ke arah depan dengan penuh kemantapan dan keyakinan hati sebagai tanda atas kesetiaan kepada Sombayya ri Gowa (pemerintah).
Waktu Pelaksanaan
Pada masa peperangan, para prajurit Kerajaan Gowa yang akan berangkat ke medan perang terlebih dahulu mengucapkan sumpah setia (aru atau angngaru) di depan Sombayya ri Gowa bahwa ia akan berjuang untuk mempertahankan wilayah kerajaan, membela kebenaran, dan tak akan mundur selangkah pun sebelum melangkahi mayat musuhnya. Aru ini pada saat diucapkan dapat membakar semangat juang prajurit, menimbulkan jiwa patriotic di kalangan laskar prajurit.
Di masa damai dalam tradisi pemerintahan Kerajaan Gowa, para pejabat kerajaan yang baru diangkat maka sebelum melaksanakan tugasnya, terlebih dahulu mengucapkan aru atau sumpah setia di hadapan Sombayya ri Gowa bahwa ia akan bekerja bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan kerajaan dan menjunjung tinggi kemuliaan raja. Aru yang diucapkan itu pula merupakan dorongan atau motivasi untuk mewujudkan cita-cita dalam membangun kerajaan.
Pada masa sekarang, angngaru sering digunakan dalam berbagai hal antara lain pada upacara adat, kegiatan pemerintahan, maupun penyambutan tamu-tamu kehormatan. Aru yang diucapkan pada upacara tersebut selain memiliki nilai magis, juga berfungsi sebagai pemahaman, kebanggaan dan pelestarian oleh masyarakat Gowa terhadap budaya angngaru yang merupakan ciri khas Kerajaan dan masyarakat Gowa.

Naskah Aru atau Angngaru

Bismillahir rahmanir rahiim

Ata karaeng Tabe’ kipammopporang mama’
Ri dallekang labbiritta ri sa’ri karatuanta ri empoang matinggita

Inakke mine, karaeng Lambara’ tatassa’la’na Gowa
Nakareppekangi sallang, karaeng Pangngulu ri barugayya
Nakatepokangi sallang karaeng Pasorang attangnga parang

Inai-inaimo sallang, karaeng Tamappattojengi tojenga Tamappiadaki adaka
Kusalagai sirinna kuisara parallakkenna
Berangja kunipatebba pangkulu’ kunisoeyang

Ikau anging karaeng naikambe lekok kayu
Mirikko anging namarunang lekok kayu
Iya sani madidiyaji nurunang

Ikau je’ne’ karaeng naikambe batang mammayu
Solongko je’ne’ namammayu batang kayu
Iya sani sompo bonangpi kianyu

Ikau jarung karaeng naikambe banning panjai’
Ta’leko jarung namminawang bannang panjai’
Iya sani lambusuppi nakontu tojeng

Makkanamamaki mae karaeng naikambe mappa’jari
Mannyabbu’ mamaki karaeng naikambe mappa’rupa

Punna sallang takammaya aruku ri dallekanta’
Pangkai jerakku tinra’ bate onjokku
Pauwang ana’ ri book pasang ana’ tanjari
Tumakkanayya’ karaeng natanarupai janjinna

Sikammajinne aruku ri dallekanta
Dasi nadasi nana tarima pa’ngaruku
Salama’

Sumber :
Yasin Limpo, Syahrul, Adi Suryadi Culla, dan Zainuddin Tika, 1995, Profil Sejarah, Budaya dan Pariwisata Kerajaan Gowa, Pemda Tk II Gowa Kerjasama Yayasan Eksponen 1966 Gowa, Ujung Pandang.

Sumpah Sang Pendekar

“ SUMPAH SANG PENDEKAR ”

MOHON AMPUNAN DARI KARAENGKU

DIHADAPAN KEAGUNGAN DAN KEBESARAN

PADA KEDUDUKAN DAN KEHORMATAN

BENAR NIAN KARAENG

KAMI ADALAH YANG DIPERHAMBA SIAP MENERIMA AMANAH

BERBAKTI DIHADAPAN KARAENGKU

SUNGGUH BENAR KARAENG ANDAIKAN ADA RINTANGAN

MARABAHAYA MENANTANG DIHADAPAN KARAENGKU

NYAWA DAN RAGAKU AKAN KUPERTARUHKAN

DEMI KESELAMATAN KARAENGKU

KARAENGKU LAKSANA ANGIN HAMBA INI LAKSANA DAUN

ANGIN BERHEMBUS DAUN-DAUN BERGUGURAN

IBARAT KARAENGKU AIR HAMBA LAKSANA BATANG KAYU

AIR MENGALIR BATANG KAYU TERBAWA ARUS

KARAENG IBARAT JARUM KAMI INI LAKSANA BENANG

JARUM LEWAT BENANG TURUT TERBAWA

SUNGGUH BENAR KARAENG ANDAIKAN SUMPAHKU INI

HANYA BUAH BIBIR SEMATA PERMAINAN LIDAH TAK BERTULANG

SAMPAIKAN PADA GENERASIKU

GENERASI PENERUS CITA-CITA

BERILAH TANDA SILANG PADA BATU NISANKU

INILAH KUBURAN MANUSIA PENGUMBAR SUMPAH

PENEBAR JANJI TAK MEMBUAHKAN KEBERHASILAN

MUDAH-MUDAHAN SUMPAHKU INI

BERKENAN DIHATI KARAENGKU

LAKSANA PENYEJUK DIWAKTU KEGERSANGAN


Dunia Kecilku

Gunjhie` Universe Slideshow: Gunjhie’s trip to Makassar, Sulawesi, Indonesia was created by TripAdvisor. See another Makassar slideshow. Create your own stunning free slideshow from your travel photos.

GUNJHIE`LAND

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...