Mang Badar, demikian orang menyapa tukang bangunan itu. Saya mengenal Mang Badar ketika beliau dipercaya oleh Burhan, tetangga di depan rumah saya, untuk memugar pagar rumahnya.
Pada satu siang selepas zuhur hujan turun begitu lebatnya sehingga Mang Badar pun terpaksa menghentikan pekerjaannya.
Saat itulah saya bertandang ke rumah Burhan dengan maksud mencari teman ngobrol. Kami pun ngobrol bertiga (Burhan, Mang Badar, dan saya) di ruang tamu yang terhubung dengan ruang TV keluarga Burhan.
Saat itu TV hidup tetapi tidak ada anggota keluarga Burhan yang menonton. Saat itu layar TV menanyangkan berita, sehingga perhatian kami pun terbagi pada TV itu. Salah satu berita yang dibacakan adalah tentang kerusuhan di sebuah pengadilan negeri di tanah air.
Kerusuhan dipicu oleh keluarga korban pembunuhan yang tidak puas atas putusan hakim yang memvonis terdakwa dengan 17 tahun penjara. Sementara keluarga korban berharap vonis matilah yang pantas dijatuhkan pada terdakwa pembunuh anggota keluarga mereka. Ketidak puasan itu mereka luapkan dengan cara mengejar dan mengeroyok terdakwa saat hendak dibawa kembali ke rumah tahanan. Beruntung petugas kemanan bisa mengendalikan situasi.
“Heran saya, kenapa keluarga korban harus marah dan ngamuk sepert i itu” komentar Mang Badar lelaki 72 tahun yang terlihat 20 tahun lebih muda itu, memecah keheningan akibat seriusnya kami menyimak berita tersebut.
Komentar Mang Badar itu membuat saya penasaran. “Memangmya kenapa Mang” tanya saya.
“Kalo melihat pakaian yang mereka kenakan, pastinya keluarga korban yang ngamuk itu adalah orang yang seiman dengan kita” duga Mang Badar yang segera kami iyakan.
“Lho, kejadian seperti itu kan lumrah pada orang yang sedang terbakar emosi toh Mang” kata saya.
“Benar, tapi buat apa kita diminta mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un saat kita mendapat musibah?” tanya Mang Badar yang langsung membuat mulut saya seakan terkunci.
Saya terpana karena baru kali itu mendengar orang, terlebih dari orang yang pendidikannya (sesuai pengakuan Mang Badar) tak tamat SD (tapi ngajinya khatam Al Quran), melontarkan soal implementasi kalimat Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
“Ya, itukan pengakuan kita bahwa segala sesuatu yang berasal dari (milik) Allah akan kembali kepada Allah” jawab Burhan.
“Itu mah arti menurut bahasa mulut aja, Den” timpal Mang Badar.
“Lho, maksud Mamang, apa ada makna lain di luar kata dan bahasa?” tanya saya.
“Guru ngaji saya dulu mengajarkan pada saya bahwa tidak ada satu pun pujian, pengakuan, dan ikrar atas nama Allah atau ditujukan kepada Allah yang boleh berhenti pada tingkat ucapan. Semuanya harus bermuara dan mewujud pada sikap dan perbuatan” jawab Mang Badar.
“Ketika kita mengakui bahwa Allah lah pemilik segala sesuatu melalui ucapan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un maka semestinya kita harus berbesar hati menerima kenyataan ketika sesuatu itu diambilnya kembali. Menurut beliau, itulah inti makna rukun iman ke-6, percaya bahwa qada dan qadar datangnya dari Allah” papar Mang Badar.
“Qada dan qadar adalah ketentuan Allah yang bekerja pada jagat fana (alam materi termasuk manusia). Karena ketentuan Allah itu hanya Allah saja yang tahu tujuan dan hikmahnya, maka tidaklah pantas kita (manusia) mengoreksinya, apalagi dengan cara-cara tak berperi” lanjut Mang Badar.
“Tapi Mang, bukankah qada dan qadar adalah misteri? Karena misterius maka manusia wajib berusaha maksimal untuk menyibaknya dengan hasil yang terbaik?” tanya Burhan sedikit kurang sependapat dengan Mang Badar.
“Lho, kasus pembunuhan yang diberitakan itu kan bukan misteri lagi. Sudah terjadi. Korban meninggal mungkin sudah tenang di alam kuburnya. Terdakwa pembunuhnya sudah divonis oleh hakim” jawab Mang Badar argumentatif.
“Tapi kan, vonis hakim (manusia) belum tentu sesuai dengan keadilan yang digariskan Allah” sanggah saya.
“Menurut Aden (sapaan satiris Mang Badar kepada saya dan Burhan), apakah para penegak hukum terutama hakim bisa bertindak tanpa adanya kuasa Allah pada dirinya?” tanya Mang Badar.
Sampai di situ, saya dan Burhan kembali hanya bisa terdiam.
Sementara di luar hujan telah reda, Mang Badar pun beranjak untuk meneruskan pekerjaannya.
Terima kasih atas kisah menyentuh dan inspiratifnya, Tetap semangat..!!