Studi yang dipublikasikan Jurnal Kepribadian dan Psikologi Sosial membenarkan hal itu. Dalam studi disebutkan dua dari tiga individu "memaki-maki" Tuhannya ketika mereka menghadapi sesuatu yang buruk dalam hidupnya. Hal yang sama juga berlaku pada individu yang taat beragama.
"Individu beragama mungkin tidak secara frontal menyalahkan Tuhan akan tetapi mereka punya ekspresi tersendiri seperti "Ah Tuhan lagi memberikan cobaan pada ku untuk membuatku lebih kuat dan sabar," papar Julie Exline, Psikolog asal Case Western Reserve University, Cleveland seperti dikutip dari Healthday, Senin (3/1).
Temuan lain juga menyebutkan individu yang memeluk agama Protestan secara personal mengungkapkan kemarahan mereka kepada Tuhan. Hal yang sama juga dilakukan individu yang tidak percaya atau mempertanyakan eksistensi Tuhan. Bedanya, emosi mereka jauh lebih besar ketimbang individu yang percaya terhadap tuhan.
Hal yang menarik, kemarahan terhadap Tuhan banyak dilakukan kaum muda dan kulit putih. Exline menjelaskan kemarahan individu terhadap Tuhan disebabkan adanya hubungan sosial mereka. Sebagai contoh, individu berasumsi Tuhan bertanggung jawab atas hal buruk yang menimpa mereka. "Mereka benci tapi cinta," katanya. "Kehadiran perasaan positif tidak mengesampingkan kemungkinan kemarahan dan sebaliknya."
Meski boleh dibilang tidak lumrah, kemarahan terhadap Tuhan merupakan bentuk ekpresi kejiwaan atas masalah yang penyelesaiannya memang tak terjangkau oleh manusia. Exline menjelaskan ketidakmampuan manusia yang diluapkan dalam makian terhadap Tuhan itu dapat berbahaya bagi kesehatan mental dan fisik.
Pendapat itu juga diamini oleh psikolog Simon Rego, Direktur Program Terapi Perilaku Kognitif dari, Montefiore Medical Center, New York City. "Kemarahan pada Tuhan hanya menjadi lingkaran setan bagi sebagian orang," komentarnya. Menurut Rego, seseorang mungkin berpikir Tuhan telah berpaling. Karena itu, dalam diri individu segera mengalami tekanan psikologis yang pada akhirnya memicu kemarahan.
Rego mengatakan gejala itu tidak sehat. "Setiap emosi memiliki alasan. Jika kemarahan mulai mengganggu kehidupan normal, mungkin sudah saatnya anda mendapatkan bantuan," ujarnya. "Jika anda marah pada Tuhan dan anda berhenti berdoa, anda membiarkan kemarahan menghentikan sesuatu yang sangat bernilai."
Sangat penting, ujarnya untuk belajar untuk keluar dari situasi sulit. Ia mengatakan terapi perilaku kognitif dapat membantu orang membingkai pemikiran mereka dengan cara yang lebih produktif.
Sementara Exline mengatakan bahwa sangat penting untuk melihat seorang psikolog yang membahas masalah kenyamanan spiritual. Namun, dia mengatakan, sering kali pemuka agama atau pembimbing rohani mungkin lebih nyaman mendiskusikan hal-hal iman.