Saya merasa putus asa melihat orang Amerika yang katanya memiliki nurani moral dan keberanian untuk melawan kekerasan dan hampir saja menjauhkan diri dari papan ketik sampai suatu hari saya bertemu dengan Pendeta. Thomas L. Are.
Sang pendeta itu adalah seorang pastor Presbiterian yang dulu biasa memberikan ceramah di depan jemaahnya di Atlanta, Georgia dengan berkata:” Saya adalah seorang Zionis.” Seperti kebanyakan orang Amerika, Pendeta Are telah terbujuk oleh propaganda Israel dan ikut menyebarkan propaganda itu kepada jemaahnya.
Sekitar tahun 1990, Pendeta Are mengalami kebangkitan dimana dia merasa berhutang pada seorang Kristen Kanon dari Katedral Saint George di Jerusalem dan pengarang Marc Ellis, seorang co-editor pada buku yang berjudul Beyond Occupation. (Di Balik Pendudukan)
Menyadari bahwa ketidakpedulannya pada situasi membuatnya ikut merasa terlibat pada suatu tindakan kriminal, maka Rev. Are menulis sebuah buku engan berharap dapat menolong orang lain dari kesalahannya dan mungkin saja dapat membayar kesalahannya. Bukunya itu berjudul Israeli Peace/Palestinian Justice,(Keadilan Perdamaian Israel-Palestina) yang diterbitkan di Kanada tahun 1994
Pendeta Are melakukan riset mengenai topik bahasannya itu dan menulis sebuah buku yang berani. Ingatlah bahwa sebelum tahun 1994 terutama sebelum terbit buku yang terbaru dari Walt dan Mearsheimer , yang menyorot kekuatan Lobby Israel dan kemampuannya untuk mengkontrol penjelasan pada apa yang harus diterima oleh orang Amerika mengenai “Konflik Israel-Palestina.”
Pendeta Are memulai penjelasannya dengan serangan terbuka yang dilakukan Israel pada bangsa Palestina, suatu peristiwa yang terjadi sebelum kebanyakan orang Amerika yang hidup pada saat ini dilahirkan. Dia mengutip seorang ahli sejarawan terkemuka dari Inggris, Arnold J. Toynbee: “Perlakuan yang diterima oleh penduduk Arab Palestina tahun 1947 (dan 1948) secara moral adalah tidak bisa diterima sebagaimana terjadinya pembantaian atas enam juta orang Yahudi oleh Nazi. Walaupun secara kuantitas hal itu tidak bisa dibandingkan dengan tindakan kriminal yang dilakukan oleh Nazi, tapi secara kualitas bisa dibandingkan.”
Golda Meir, yang dianggap oleh orang Israel sebagai seorang pemimpin yang besar sementara orang lain menganggapnya sebagai salah seorang pembunuh besar dalam sejarah, mengkesampingkan fakta-fakta itu: “Seolah-olah tidak ada orang Palestina di Palestina dan kami datang dan melempar mereka keluar dan merampas negara mereka. Mereka sama sekali tidak ada..”
Permintaan maaf Golda Meir pada tindakan kriminal Israel adalah sangat bertentangan dengan fakta sehingga berlawanan dengan akan sehat : Bangsa Palestina dan orang-orang keturunannya yang kota-kota, desa-desa, rumah-rumah, dan tanah-tanahnya dirampas oleh Israel tahun 1948. Pendeta Are memberikan para pembacanya gambaran yang dialami oleh Na’im Ateek atas apa yang terjadi pada dirinya, seorang anak berusia 11 tahun, ketika orang-orang Yahudi datang ke Beisan pada tanggal 12 May, 1948. Ketika itu seluruh penduduk Palestina lenyap begitu saja.
Tahun 1949 PBB menghitung ada 711,000 pengungsi Palestina.
Tahun 2005 Badan Bantuan PBB (United Nations Relief and Works) memperkirakan sekitar 4.25 juta penduduk Palestina dan keturunannya menjadi pengungsi di tanah air mereka sendiri.
Kebijakan Israel yang mengusir penduduk non-Yahudi berlanjut terus selama enam decade. Pada tanggal 19 Juni, 2008, Komite Laity di Tanah Suci melaporkan bahwa di Window ke Palestina bahwa Menteri Dalam Negeri Israel merampas hak bertempat tinggal atas penduduk Kristen Jerusalem yang telah diklasifikasikan sebagai “pengunjung atas kota mereka sendiri.”
Pada tanggal 10 Desember , 2007, MK Ephraim Sneh sesumbar di harian Jerusalem Post bahwa Israel telah mencapai apa yang disebut sebagai “kemangan kaum Zionis yang sebenarnya” atas rencana pembagian yang dibuat PBB “yang ingin mendirikan dua negara di tanah milik Israel.” Rencana pembagian ini telah memberikan Israel 56 persen tanah Palestina, dan hanya meninggalkan 44 persen bagi penduduk setempat. Tapi Israel terus mengubah-ubah hal ini. Sneh dengan bangga menyatakan: “Ketika kami menyelesaikan persetujuan yang permanen, kami akan mendapatkan 78 persen tanah sementara orang Palestina hanya akan mendapat 22 persen saja.”
Sneb sebenarnya dapat menambahkan bahwa 22 persen itu hanyalah sekumpulan kampung-kampung yang tidak berhubungan karena terpisah satu sama lain oleh jalan, air, perawatan medis, dan pekerjaan.
Pendeta Are membuktikan pelanggaran HAM atas penduduk Palestina adalah secara resmi merupakan kebijakan Israeli. Pembunuhan, penyiksaan, dan pemukulan menjadi hal yang rutin. Pada tanggal 17 Mei, 1990, Koran Washington Post melaporkan bahwa “Save the Children ” menunjukkan pemukulan yang dilakukan secara serampangan, penyemprotan dengan gas air mata dan penembakan atas anak-anak yang dilakukan di rumah atau di luar rumah ketika mereka sedang bermain di jalan, atau ketika mereka sedang duduk di ruang kelas dan pergi ke toko.”
Tanggal 19 Januari, 1988, Menteri Pertahanan Israel Yitzhak Rabin, mantan Perdana Menteri, mengumumkan kebijakan “hukuman dengan pemukulan” atas orang Palestina. Orang Israel menggambarkan tujuan hukuman dengan pemukulan ini sebagai berikut:: “Tugas kami adalah untuk menciptakan jurang pemisah dan sekali lagi menebarkan ketakutan atas orang Arab di wilayah itu.”
Menurut Save the Children, pemukulan atas anak-anak dan wanita adalah hal yang biasa. Rev. Are, dengan mengutip laporan di Koran Washington Post, menulis: “Save the Children menyimpulkan bahwa sepertiga anak-anak yang dipukuli adalah anak-anak yang berusia dibawah lima tahun. Hampir sepertiga anak-anak yang dipukuli itu menderita patah tulang.”
Tanggal 8 February, 1988, majalah Newsweek mengutip ucapan seorang serdadu an Israel: “Kami mendapatkan perintah untuk mengetuk setiap pintu rumah, untuk masuk dan membawa pergi kaum lak-lakinya. Orang-orang yang lebih muda usianya kami perintahkan untuk berbaris dengan tangan dihadapkan ke tembok, dan para serdadu memukuli mereka di bagian perut dengan tongkat pemukul. Hal ini bukanlah inisiatif perseorangan, hal ini adalah perintah dari komandan kami…. Setelah seorang serdadu selesai memukuli seorang tawanan, serdadu lainnya akan berteriak padanya ‘kamu Nazi,’ dan orang yang pertama akan menyahutinya. Ketika seorang serdadu mencoba untuk menghentikan pemukulan atas orang Arab itu, perkelahian pun pecah”
Itu adalah hari-hari sebelum rasa belas kasihan dicabut dari jajaran militer Israel.
Pada tanggal 19 Juni 1977, di Koran London Sunday Times, Ralph Schoenman, executive director dari Yayasan Bertrand Russell, menulis: “interogator Israel secara rutin memperlakukan dengan kasar dan menyiksa para tawanan Arab. Para tawanan ditutup kepalanya dan matanya dan kemudian digantung dipergelangan tangannya untuk waktu yang lama. Kebanyakan dipukuli dibagian alat kelaminnya atau bagian lain untuk menyiksa secara seksual. Kebanyakan dari mereka juga diserang secara seksual. Sementara yang lainnya diberi sengatan listrik.”
Amnesty International menyimpulkan bahwa “tidak ada negara di dunia dimana penggunaan cara penyiksaan secara resmi yang berkelanjutan dilakukan sedemikian mapan dan mendapat dukungan sebagaimana kasus yang terjadi di Israel.”
Bahkan Koran yang pro-Israel Washington Post melaporkan: “Setelah ditahan, seorang tawanan mengalami masa kelaparan, kurang tidur yang dilakukan dengan metode-metode yang terorganisir dan memperpanjangnya dimana tawanan tadi diperintahkan untuk berdiri dengan tangan terbelenggu dan terangkat ke atas, selembar sarung sementara selembar karung yang kotor menutupi kepalanya. Para tawanan kemudian diseret ke tanah, dipukuli dengan benda-benda, ditendang, ditelanjangi dan ditempatkan dibawah pancuran dengan air sedingin es.”
Hal ini seperti yang terjadi di Abu Gharib. Ada laporan-laporan dimana para ahli penyiksaan Israel itu ikut serta dalam penyiksaan para tawanan yang dirancang oleh militer Amerika sebagai bagian dari propaganda pemerintah Bush untuk meyakinkan orang Amerika bahwa Irak dipenuhi oleh teroris al-Qaeda. Tanggal 23 July 23, 2008, Antiwar.com memposting sebuah berita dari Iraq yang melaporkan bahwa pemerintah Iraq telah melepaskan total tawanan sebanyak 109,087 orang Irak yang telah “ditahan.” Oleh Amerika. Jelasnya, “para tawanan teroris” ini telah dipergunakan bagi kepentingan propaganda Rejim Bush. Tidak seorangpupn yang pernah tahu berapa banyak dari mereka yang telah disiksa oleh para penyiksa Israel yang diimpor oleh CIA.
Buku tulisan Rev. Are memberikan gambaran yang masuk akal bagi penyelesaian konflik yang telah dimulai oleh Israel. Namun, masalahnya adalah bahwa pemerintah Israel hanya mengerti kekerasan. Kebijakan pemerintah Israel hanya akan selalu berupa pemukulan, pembunuhanm dan melakukan tindakan brutal atas orang Palestina hingga mereka tunduk dan mengungsi. Siapapun yang meragukan akan hal ini dapat membaca sebuah buku yang dikarang oleh seorang sejarawan terkemuka Israel Ilan Pappe, The Ethnic Cleansing of Palestine (Pembasmian Etnis Palestina )(2006)
Orang Amerika adalah orang yang mudah ditipu dan naif. Mereka tidak percaya akan tindakan kriminal yang dilakukan Israel selama 60 tahun yang dalam kata-kata Arnold Toynbee digambarkan sebagai “tidak ada bandingannya dalam hal kualitas ” dengan tindakan kriminal oleh Nazi Jerman. Karena Toynbee menulis hal itu beberapa decade yang lalu, tindakan kriminal Israel telah menumpuk dan mungkin sekarang juga bisa dibandingkan dalam hal kuantitas.
Amerika secara rutin memveto tindakan mengutuk PBB atas Israel karena tindakan kriminalnya yang brutal terhadap rakyat Palestina. Para pembayar pajak Amerika yang masa bodoh berlmuran darah selama setengah abad karena memberikan Israel dengan senjata milter yang canggih dimana negeri itu menyerang negara-negara tetangganya, sementara terus meyakinkan Amerika – yang pada dasarnya adalah negara yang tawanan – bahwa Israel adalah korban.
John F. Mahoney menulis: “Thomas Are mengingatkan akan Dietrich Bonhoeffer: seorang pastor yang aktif yang datang untuk meyakinkan bahwa dia dan para pendukungnya telah dicekoki dengan kedustaan bahwa pembunuhan dan penyiksaan ribuan orang laki-laki, wanita dan anak-anak. Karena tidak melakukan riset yang cukup pastor semacam Bonhoeffer hanya akan menganggu jemaahnya. Reverend Are telah mengerjakan pekerjaan rumahnya dan, menurut saya, telah sering dan lama berdoa selama dia menulis buku yang berani itu.”
Bonhoeffer adalah seorang teolog Lutheran dan pastor yang telah dieksekusi karena partisipasi aktifnya dalam Kelompok Perlawanan Jerman melawan Nazi.
Professor Benjamin M. Weir, dari Seminari Teologi San Francisco, menulis: “Buku ini akan membuat pembacanya berontak. Buku itu menyeru anda untuk memberikan suara atas nama orang-orang yang tidak bisa bersuara.”
Orang Amerika yang tidak dapat lagi berpikir buat diri mereka sendiri anda yang takut ditolak oleh kelompok-kelompok mereka menjadi tidak mampu untuk memberikan suaranya kepada siapapun kecuali mereka yang mengkontrol propaganda dunia di tempat dimana mereka tinggal.
Orang Amerika yang tidak peduli dan tidak perhatian menjadi frustasi besar atas teman-teman saya di gerakan perdamaian Israel. Tanpa dukungan dari luar, orang-orang Israel yang percaya bahwa kebaikan akan menguap, karena dukungan Amerika bagi kebijakan pemerintahnya yang memakai kekerasan, atas segala resolusi damai atas konflik yang dimulai tahun 1947 oleh agresi Israeli atas penduduk Palestina.
Pendeta Are menulis bukunya itu dengan harapan untuk menjadikan pena nya menjadi lebih ditakuti daripada pedang nya dan bahwa kenyataan-kenyataan dapat memenuhi propaganda dan menciptakan sebuah kerangka kerja hanya bagi sebuah resolusi atas isu Palestina. Dalam bab penutupnya, “Apa yang tidak dapat dilakukan oleh orang Kristen,” Pendeta Are menulis: “Kami tidak dapat membiarkan orang lain untuk mendikte cara berpikir kita atas masalah apapun, khususnya atas sesuatu yang sama pentingnya seperti keimanan Kristiani, yang diuji oleh tindakan untuk mencari keadilan bagi orang-orang tertindas. Hal ini adalah tugas orang-orang Kristen untuk mengetahuinya.”
Kewajiban, tentu saja, ada harganya. Rev. Are menulis: “Suarakan opini anda bagi bangsa Palestina dan anda akan mendapat banyak musuh. Namun, sebagai seorang Kristen, kita harus bersedia untuk mengangkat isu-isu ini yang hingga sekarang kita pilih untuk hindari .”
Lebih dari satu decade kemudian, Presiden Jimmy Carter, seorang sahabat terpercaya orang Israel, mencoba untuk membangkitkan nurani moral orang Amerika dengan bukunya, Palestine: Peace Not Apartheid (Palestina: Perdamaian Bukan Apartheid). Langsung saja Carter mendapat mendapat kecaman dari Lobi Israel.
Enam puluh tahun usaha yang baik dan manusiawi untuk menjadikan Israel untuk bertanggung jawab sejauh ini telah gagal, tapi usaha-usaha semacam itu lebih penting pada hari ini daripada sebelumnya. Israel telah memiliki tawanannya yakni negara Amerika untuk melakukan serangan atas Iran, yang akibatnya merupakan kehancuran bagi semua orang yang peduli. Tujuan yang dikehendaki adalah untuk menghapus senjata-senjata nuklir Iran. Alasan yang sebenarnya adalah untuk menghilangkan segala dukungan bagi Hamas dan Hezbollah sehingga Israel dapat mencaplok seluruh Tepi Barat dan Libanon Selatan. Rezim Bush bernafsu untuk melakukan tawar menawar dengan Israel, dan media beserta gereja-gereka evangelis “Kristen” telah mempersiapkan orang-orang Amerika bagi peristiwa semacam itu.
Adalah hal yang bertentangan jika Israel mempertunjukkan kepalsuan bukan pada keyakinan Kristen akan maksud baik tapi dalam doktrin Lenin bahwa kekerasan adalah tindakan efektif dalam sejarah dan bahwa gereja-gereja Zionis Kristen setuju akan hal itu.